Cerita Bakriyana Masitoh: Merantau, Membaca, dan Menemukan Diri di Negeri Para Filsuf

 

Bakriyana Masitoh via Kreatormerdeka.com

Ada satu kalimat yang paling insightfull dari obrolan dengan Bakriyana:

“Saya tidak mau ilmu yang berharga ini hilang.”

Kalimat sederhana, tapi dari situ kita bisa menangkap sesuatu — tentang tekad, tentang perjalanan, dan tentang rasa cinta terhadap ilmu.

Bakriyana adalah salah satu mahasiswa Indonesia yang kini menempuh pendidikan di Mesir. Tapi kalau kamu pikir perjalanan ke sana penuh kisah dramatis, kamu salah besar. Ia justru bilang, “Tidak ada yang istimewa.”

Baginya, keberangkatan ke Mesir hanyalah bentuk tanggung jawab atas ilmu yang sudah ia dapat di pesantren.

“Kalau ada kesempatan lanjut ke Inggris, saya akan ke sana. Bukan karena Mesir lebih istimewa, tapi karena saya tidak mau kemampuan bahasa Arab saya hilang begitu saja.”

Namun, sebelum sampai ke sana, satu hal yang paling berat justru bukan tes atau administrasi, melainkan... meluluhkan hati orang tua.

 

Bahasa Pasar dan Pelajaran dari Merantau

Ketika pertama kali menjejakkan kaki di Mesir, tantangan terbesar bukan cuaca panas atau jarak ribuan kilometer dari rumah.
Tantangan itu bernama bahasa “pasar.”

“Banyak yang nggak tahu, setiap negara punya bahasa pasar. Bahasa yang beda jauh dari tata bahasa resmi. Kalau kita terlalu akademis, penutur asli malah bingung.”

Dari situ, Bakriyana belajar sesuatu yang mungkin nggak diajarkan di kampus mana pun:
Bahwa komunikasi sejati bukan soal grammar, tapi soal rasa dan pemahaman.

 

Dari Pesantren ke Dunia Buku

Siapa sangka, di masa kecilnya, Bakriyana bukan tipe yang suka membaca.

“Di pesantren, kami dilarang baca novel dan manga. Terutama yang romantis,” katanya sambil tertawa kecil.

Tapi saat SMP, semuanya berubah. Ia menemukan dunia baru lewat novel-novel detektif dan buku sejarah.
Dari sana, tumbuh kebiasaan baru: membaca dengan rasa ingin tahu.

Sekarang, ia percaya bahwa membaca dan menulis bukan cuma kegiatan akademis, tapi juga cara manusia memahami dirinya.

“Membaca itu mudah. Yang sulit adalah memahami apa yang kita baca. Karena itu, saya menulis ulasan — biar tahu sejauh mana saya benar-benar paham.”

 

Menemukan Diri Lewat Filsafat

Saat orang lain memilih jurusan karena peluang kerja, Bakriyana justru memilih Akidah dan Filsafat.

“Saya memilih karena ingin tahu. Ingin memahami agama-agama dan filsafat dunia, supaya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam diri saya sendiri.”

Ia sadar, tidak semua pertanyaan punya jawaban. Tapi justru di situlah keindahannya: perjalanan mencari makna.

Bakriyana mengagumi banyak pemikir, terutama filsuf Yunani dan Karl Marx. Tapi di sisi lain, ia menegaskan:

“Saya terikat moral dan agama. Jadi saya belajar untuk memahami, bukan menelan mentah-mentah.”

Dan mungkin, kalimat paling reflektif darinya adalah ini:

“Filsafat dan agama itu bertemu di satu kata — cinta.”

Menurutnya, filsafat mengajarkan cinta pada kebijaksanaan, dan agama mengajarkan cinta pada kehidupan.
“Agama itu tali pengikat, biar filsafat nggak liar. Seperti feminisme anarkis, yang ingin kesetaraan mutlak — padahal agama mengajarkan keadilan, bukan kesamaan.”

 

Personal Branding, Literasi, dan Zaman Digital

Kalau bicara soal personal branding, Bakriyana punya pandangan yang cukup... anti-mainstream.

“Personal branding bisa dilakukan di mana aja. Nggak ada hubungannya kamu tinggal di Mesir atau di Cilegon. Yang penting: kamu tahu gimana memanfaatkan otak dan kemampuan berpikir.”

Baginya, literasi itu luas. Bukan cuma tentang membaca buku fisik, tapi juga menyerap pengetahuan dari berbagai bentuk karya.

“Kamu bisa dapat literasi dari media sosial, anime, atau konten kreatif lainnya. Yang penting bukan sumbernya, tapi bagaimana kamu memahaminya.”

Dan kalau kamu ingin mulai membangun personal branding lewat literasi, kata Bakriyana, mulai dari satu hal sederhana: membaca.

“Semua riset, semua ide, semua perubahan — lahir dari membaca. Tulisan kamu, sekecil apapun, bisa memengaruhi dunia.”

 

Berdaya Lewat Karya

Ketika ditanya apa arti berdaya lewat karya, Bakriyana menjawab singkat:

“Memberikan yang kita punya dalam bentuk karya. Entah tulisan, gambar, atau karya digital. Pokoknya, sesuatu yang bisa kamu bagi untuk dunia.”

Untuk anak muda yang sedang mencari arah, ia menyarankan membaca karya Jalaluddin Rumi.

“Rumi ngajak kita kenal sama diri sendiri. Dan itu penting, karena banyak orang ambisius tapi nggak bisa berdamai dengan kegagalannya.”

 

Refleksi dari Negeri Piramida

Di akhir obrolan, Bakriyana menyebut dua nama besar yang ia kagumi: Tan Malaka dan Buya Hamka.
Dua orang yang tetap berkarya meski terpenjara.

“Tan Malaka menulis Dari Penjara ke Penjara. Buya Hamka menulis Tafsir Al-Azhar di dalam sel. Mereka membuktikan: berpikir dan berkarya itu nggak bisa dikurung.”

Lalu ia menutup percakapan dengan pesan yang menancap lama di kepala:

“Kalau ada kesempatan merantau, lakukanlah. Karena dunia itu luas — dan kamu nggak akan pernah tahu seberapa luasnya sampai kamu melangkah keluar.”

 

Promosikan Karyamu Lewat Program RUANG KREATOR!

 

Kamu juga kreator muda yang punya karya tulis, film pendek, puisi, lagu, atau apapun yang layak disuarakan?

 

Gabung dan tampil di RUANG KREATOR bareng kreator-kreator inspiratif lainnya seperti Bakriyana Masitoh!

 

📩 Langsung aja DM ke Instagram @kreatormerdeka

✨ Siapa tahu, giliran ceritamu yang menginspirasi Indonesia.

 

👉 Tonton obrolan lengkapnya di Ruang Kreator Episode #13 melalui YouTube:



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama