Kodrat Perempuan yang Perlu Dilawan: Opini Widiyah untuk Perempuan Masa Kini

 

Widiyah dan Para Perempuan Hebat via Kreatormerdeka.com

Di banyak tempat, kata kodrat perempuan masih sering diartikan sempit: sumur, dapur, kasur. Pandangan itu diwariskan turun-temurun, seolah tak bisa diganggu gugat. Padahal, kalau dipikir-pikir, aktivitas di sumur, dapur, atau kasur bukanlah hak eksklusif perempuan—semua gender bisa melakukannya. Apalagi di era sekarang, banyak laki-laki yang jago masak, bahkan berprofesi sebagai chef.

Bagi Widiyah, kodrat perempuan yang sejati adalah hal-hal biologis yang memang hanya bisa dilakukan oleh perempuan: mengandung, melahirkan, dan menyusui. Selebihnya? Semua bisa dibagi. Tapi sayangnya, masih banyak orang yang hidup dengan pola pikir lama, apalagi di daerah. Widiyah tahu persis rasanya, karena ia pernah berada di tengah situasi itu.

 

1. “Perempuan Tak Perlu Pendidikan Tinggi” — Mitos yang Harus Dipatahkan

Kalimat ini, kata Widiyah, seperti mantra keramat yang bisa langsung memadamkan semangat.

Saat ia memutuskan untuk melanjutkan kuliah, restu orang tua dan keluarga adalah hal utama. Ia mendaftar SNBP dan SPAN-PTKIN 2023, tapi sang nenek menolak dengan alasan klasik: perempuan tak perlu pendidikan tinggi.

Dan benar saja, hasilnya: dua-duanya tidak lolos. Sedih? Kecewa? Sudah pasti.

Tapi Widiyah tak menyerah. Sebelum mencoba SNBT 2023, ia bertekad mematahkan cara pandang itu. Baginya, perempuan butuh pendidikan tinggi bukan untuk sekadar menambah gelar di belakang nama, tapi sebagai bekal mencerdaskan generasi berikutnya. Terlepas setelah lulus nanti akan bekerja atau tidak, ilmu yang dimiliki akan selalu berguna untuk keluarga dan lingkungan.

 

2. Alasan Kenapa Perempuan Berhak Kerja dan Punya Penghasilan Sendiri

Secara tradisi, sebelum menikah, perempuan dianggap menjadi tanggung jawab ayah atau keluarga. Setelah menikah, tanggung jawab itu pindah ke suami. Tapi perempuan zaman sekarang, termasuk Widiyah, punya pandangan berbeda.

“Kalau perempuan bekerja dan punya penghasilan, tidak akan ada laki-laki yang berani menginjaknya,” begitu kata Widiyah.
Ia percaya, perempuan punya hak yang sama untuk bekerja, bahkan memimpin, selama punya kemampuan. Perempuan bekerja bukan untuk menyaingi laki-laki, tapi untuk produktif, mandiri, dan kadang… memang karena kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.

 

3. Berkarya Itu Menguntungkan, Bahkan Bisa Mengubah Pola Pikir

Omongan “ngapain perempuan berkarya, nggak ada untungnya” bikin Widiyah geleng kepala. Menurutnya, selama seorang perempuan mampu berkarya tanpa merepotkan orang lain, kenapa harus berhenti?

Dalam dunia kepenulisan misalnya, perempuan yang terbiasa membaca lalu menulis akan punya pola pikir lebih kritis. Bukan berarti yang tidak membaca jadi kurang berkualitas, tapi ada perbedaan dalam cara berkomunikasi—baik tatap muka maupun lewat media digital. Bahkan hal sederhana seperti pemilihan kosakata pun terasa berbeda.

Widiyah sendiri pernah membagikan pengalamannya soal menulis di blog ini: Nulis Itu Mudah, yang Susah Lawan Malasnya.

 

4. Di Rumah atau di Luar? Perempuan Bisa Produktif di Mana Saja

Widiyah paham, ada perempuan yang nyaman di rumah, dan itu sah-sah saja. Tapi ia melihat, perempuan masa kini cenderung ingin terlibat dalam berbagai aktivitas: kuliah, bekerja, magang, ikut volunteering, lomba, organisasi, atau komunitas. Mereka mencari kegiatan yang memberi feedback dan makna, bukan sekadar menghabiskan waktu.

Bahkan kalau pun di rumah, banyak cara untuk tetap produktif—seperti jualan online, membuka les privat, atau menjadi freelancer. Intinya: perempuan punya hak untuk memilih jalannya sendiri.

 

5. Menikah Bukan Soal Usia Muda, Tapi Kesiapan Mental dan Finansial

Widiyah percaya, menikah itu bukan hanya soal finansial, tapi juga kesiapan mental. Uang memang penting untuk membangun keluarga, tapi mental yang matang jauh lebih krusial. Ia sering melihat kasus di mana anak justru tidak diasuh oleh ibu kandungnya karena orang tua belum siap secara emosional.

Bagi Widiyah, perempuan tidak harus menikah muda, tapi juga jangan menunggu terlalu tua. Yang ideal adalah menikah di usia matang—siap secara finansial dan mental—agar siap memikul tanggung jawab besar bernama keluarga.

 

Widiyah dan karyanya via Kreatormerdeka.com

Widiyah menutup pandangannya dengan kalimat yang cukup tegas:

“Perempuan anti-patriarki tidak akan pernah bersedia tunduk pada laki-laki, tapi tahu caranya untuk menghargai.”

Bagi Widiyah, menjadi perempuan bukan berarti menerima semua label lama yang ditempelkan masyarakat. Menjadi perempuan berarti punya hak untuk memilih, berpendidikan, bekerja, berkarya, berkontribusi, dan membangun hidup yang ia mau.

2 Komentar

  1. Perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Sebenarnya mau diluar atau didalam rumah perempuan khususnya seorang ibu justru ujung tombak yang sakral. Karena pendidikan awal semula dimulai dari rumah. Seorang anak bisa bicara, bisa berjalan, bisa membaca, menulis, bisa melakukan segala hal. Itu karena perhatian dan didikan dari orang tua (ibu).
    Meskipun kita memiliki emas segunung, harta melimpah kenyataanya tidak akan bisa membalas jasa seorang ibu.
    Maka untuk meningkatkan kualitas atau SDM yang mumpuni kita juga harus memberikan bekal pada generasi perempuan yang mampu terus belajar, baik itu lewat sekolah, kuliah atau dengan pendidikan non formal lainnya.
    Selain itu perempuan identik dengan seorang istri. Slogan yang sering kita dengar adalah dibalik kesuksesan seorang suami ada seorang istri yang selalu mendukung, mensyuport dan memberikan sandaran ketenangan baik disaat suka maupun duka.
    Jika mau melihat kemajuan seorang perempuan baik dimasa lalu maupun di masa sekarang perempuan sudah banyak berperan pada hal-hal yang urgen. Seperti yang aktif dipolitik, dibidang pendidikan, sosial bahkan industri sudah banyak perempuan yang menjadi pemimpin dibidang nya masing-masing.


    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju sekali dengan pendapat ini, Teman Kreator. Perempuan, khususnya seorang ibu, memang memegang peran fundamental dalam membentuk karakter dan masa depan generasi. Perannya tidak hanya terbatas di rumah, tapi juga bisa menjangkau ranah publik—politik, pendidikan, sosial, hingga industri. Kuncinya adalah akses dan kesempatan untuk terus belajar, baik lewat jalur formal maupun nonformal. Dengan begitu, perempuan dapat menjalankan perannya sebagai “madrasah pertama” sekaligus agen perubahan di masyarakat. Karena ketika perempuan berkualitas, maka keluarga, masyarakat, dan bahkan bangsa ikut terangkat kualitasnya.

      Hapus
Lebih baru Lebih lama